Pelajaran Penting tentang Menulis Produk Hukum

0
1031
Buku Alih Aksara Naskah-Naskah Kuno Riau oleh Raja Hamzah Junus Koleksi Perpusda Provinsi Kepri , Sumber : Jantungmelayu.com

Perhimpunan Pelakat; Kumpulan Perjanjian dan Peraturan Riau-Lingga (1899)

Tercatat sebagai karya kedua Raja Ali Kelana setelah Pohon Perhimpunan; Inilah Cetera Yang Bernama Pohon Perhimpunan Pada Menyatakan Peri Perjalanan. Sebagaimana karya perdananya, Raja Ali Kelana juga membubuhkan sub-judul pada Perhimpunan Pelakat. Lengkapnya begini. Perhimpunan Pelakat; Inilah Segala Perhimpunan Pelakat Peraturan Yang Telah Dimusyawaratkan Diantara Kerajaan Riau-Lingga Dengan Gubernemen Hindia-Nederland Daripada Tahun 1286 Hingga kepada tahun 1307.

Kemauan Raja Ali Kelana mengumpulkan, menyusun, dan menerbitkan dokumen semacam ini tentu tidak terlepas dari latar belakanganya sebagai seorang Kelana.

Kelana adalah bakal calon Yang Dipertuan Muda Riau. Raja Ali diposisikan untuk mengganti ayahandanya Raja Muhammad Yusuf selaku Yang Dipertuan Muda Riau X. Sehingga selama menjabat sebagai Kelana, Raja Ali banyak melakukan perjalanan untuk menambah pengetahuan hukumnya. Termasuk pula bersentuhan langsung dengan segala kebijakan, aturan, dan dokumen-dokumen resmi kerajaan.

Sepuluh tahun kemudian, Raja Ali Kelana menerbitkan dokumen-dokumen tersebut dalam satu bundel di Matba’ah Al-Riauwiyah, percetakan milik kerajaan.

Dalam Perhimpunan Pelakat terdapat 19 buah surat, dokumen perjanjian, aturan, titah, dan pengumuman yang telah ditetapkan oleh Yang Dipertuan Muda Riau, atau dokumen perjanjian dan peraturan yang telah disepakati antara kerajaan Riau-Lingga dengan Resident Riouw yang berkedudukan di Tanjungpinang.

Isi Perhimpunan Pelakat diawali dengan sebuah dokumen sumpah setia antara Kerajaan Riau-Lingga dengan pemerintah Hindia Belanda yang ditandatangani oleh Yang Dipertuan muda Riau dengan Resident Schift pada tahun 1286 H, dan diakhiri dengan sebuah surat pemberitahuan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Negeri Riau di Pulau Penyengat pada tanggal 23 Muharam tahun 1307 H.

Budayawan Melayu Hasan Junus, dalam sebuah pengantar buku, menuliskan Perhimpunan Pelakat berisi surat-surat selebaran yang harus diketahui oleh para penduduk tentang berbagai peraturan dan hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan rakyat sehari-hari.

“Pelakat-pelakat yang terhimpun dalam buku ini,” tulisnya lagi, “meliputi berbagai hal seperti hutan-hutan yang sudah dibinasakan oleh para tauke arang, aturan mengurus izin dan bayarannya, paya dan rawa berisi sagu sebagai hak rakyat yang pantang diganggu gugat oleh pihak-pihak lain, sampai pada undangan Sultan Abdul Rahman Al-Muazam Syah kepada para penduduk untuk merayakan bintang Leeuw van Nederland yang diterimanya dari pemerintah Belanda.”

Mari menyepakati Hasan Junus. Perhimpunan Pelakat berisi aturan-aturan yang memang ditujukan kepada masyarakat luas. Sehingga dalam penyusunan naskahnya amat rinci agar mudah dipahami.

Ada dalam sebuah dokumen dibunyikan tentang aturan-aturan (titah) yang terdengar tak lazim. Tapi ada benarnya memang harus diterbitkan untuk kebaikan masyarakat itu sendiri. Aturan tersebut memuat tujuh pasal, yang bila dipahami dengan komprehensif mengatur tentang hidup bertetangga dan menjamin keamanan lingkungan serta ketertiban umum.

Pasal pertama dalam aturan tersebut dibunyikan tentang jam malam. Berbeda dengan jam malam yang pernah ada pada era Orde Baru. Jam malam versi Kerajaan Riau-Lingga tetap memperbolehkan rakyatnya beraktivitas. Tapi dengan satu syarat.

“Tiap-tiap merea yang berjalan pada malam hari yaitu daripada pukul 6 pagi maka hendaklah mereka itu dengan bersuluh api yang terang supaya nampak siapa-siapa mereka itu.”

Sedangkan pada pasal kedua, diatur mengenai membekali diri dengan senjata. Siapa pun boleh membawa senjata tajam. “…hendaklah membawa senjata mereka di dalam sarung yang diperbuat daripada kayu yang keras.” Aturan membawa senjata dilanjutkan ke pasal ketiga. Bahwasanya mereka yang diperkenankan membawa senjata itu adalah “…orang yang pulang balik daripada pedalaman.”

Sedangkan pada pasal keempat, dinyatakan tentang sistem keamaan lingkungan atau yang kini masyhur dengan siskamling atau ronda jaga malam. “Tiap-tiap kampung yang tiada kepalanya hendaklah menjaga kampungnya dengan cukup jaganya dari pukul 7 malam hingga kepada pukul … pagi dengan jagaan tiap-tiap sebuah kampung itu 4 orang serta mufakat yang baik.”

Sementara yang mengatur ketertiban umum ada di pasal kelima. Masa itu, setiap warga dibenarkan secara hukum memiliki senjata api, sebarang meriam atau senapang. Namun bebas bukan berarti boleh semena-mena. Karena itu pasal kelima ada. “Tiada boleh sekali-kali menembak meriam atau senapang pada malam hari atau pada siangnya di dalam pada itu barangkali berhajat jua pada memelihara keun yang dibinasakan oleh babi maka hendaklah yang mempunyai kebun itu datang di Mahkamah Lingga supaya nanti diberi sepotong surat keterangan.”

Aturan terbit dibarengi dengan sanksi bagi yang melanggar. Pasal keenam berbunyi ihwal sanksi yang bakal dibebankan kepada tiap-tiap orang yang melanggar. Karena senarai aturan ini tentang berkehidupan bermasyarakat, sanksi yang dibebankan bukan berupa kurungan atau penjara. Tapi, “Segala yang tersebut di 5 pasal di atas ini apabila dilangga salah satu daripadanya niscaya dihukum dengan hukuman denda tiap-tiap satu kesalahan yang dilanggar itu daripada $1.00 hingga $6.00 atau dengan takzir yang berbetulan seumpama denda itu.”

“Itu denda yang boleh dikata cukup tinggi untuk di masanya,” terang Sejarawan Kepri, Aswandi Syahri.

Memang belum jelas bila dikonversikan nilai tukar satu Dollar Strait atau yang juga disebut Dollar Malaya dengan mata uang hari ini. Hanya saja, bila diperbandingkan dengan harga segelas kopi di tahun 1940-an bisa terbayang betapa mahal sanksi denda yang dijatuhkan mahkamah kerajaan.

“Tahun 1940-an, satu gelas kopi itu harganya dua sen. Kalau akhir abad ke-19 saja sudah ada denda satu Dollar Strait tentu tinggi sekali,” taksir Aswandi. Terlihat benar sebuah upaya kerajaan dalam menjaga ketertiban umum dan kebersahajaan masyarakatnya dalam berkehidupan sehari-hari.

Seperti yang disinggung Hasan Junus, Perhimpunan Pelakat tidak sepenuhnya berisikan aturan-aturan hukum. Tapi juga berisikan dokumen resmi berupa undangan pesta kepada seluruh masyarakat Riau-Lingga pada Kamis pukul tiga petang bertarikh 24 Muharram 1307 H.

Apa yang sebenarnya dirayakan? Tak lain dan tak bukan adalah berupa penghargaan lencana Bintang yang diberikan Pemerintah Belanda kepada Sultan Abdul Rahman Al-Muazam Syah. Aswandi menandai penyematan lencana ini sebagai tanda penghormatan keberhasilan sultan membina hubungan baik dengan Pemerintah Belanda.

Lencana Leeuw van Nederland yang diterima 15 hari sebelumnya itu ingin dirayakan bersama masyarakat di sebuah mesjid di Pulau Penyengat. “… karna itu haraplah sekalian isi negeri hadir pada melawat akan jamuan itu adanya.”

Dijadikan Bahan Ajar Kuliah Hukum di Belanda

Upaya Raja Ali menerbitkan Perhimpunan Pelakat bukan serta-merta sekadar demi pekerjaannya sebagai Kelana. Namun rupanya berhasil melangkau zaman, melampau dari fungsi hari itu.

Aswandi menjelaskan, Perhimpunan Pelakat tampaknya menjadi rujukan bagi pemerintah kolonial Belanda dan pakar hukum kolonial. Karena dipandang dapat membantu upaya-upaya pemahaman aspek hukum dan adat di kawasan Riau-Lingga.

“Indikasi itu jelas terlihat dengan diterbitkannya isi Perhimpunan Pelakat dalam jurnal hukum adat Adatrechtbumdels, milik pemerintah Hindia Belanda, dengan judul Riausche Plakaten atau Plakat-plakat dari Riau,” terang Aswandi.

Bundel ini kemudian tersebar luas hingga menjadi rujukan belajar hukum adat di sekolah-sekolah hukum di Batavia. Tak menutup kemungkinan pula, sambung Aswandi, hingga kini Perhimpunan Pelakat masih dijadikan sebagai bahan ajar di beberapa fakultas hukum di Indonesia maupun Belanda. “Utamanya untuk memahami bagaimana hukum adat itu mengatur rakyatnya. Perhimpunan Pelakat kan bercerita tentang itu juga,” ungkapnya.

Selain itu, Perhimpunan Pelakat juga punya daya guna lain. Ketika redaksional produk hukum terbitan pemerintah hari ini terasa sumir, Aswandi menegaskan, seharusnya mereka bisa mengacu bagaimana Kerajaan Riau-Lingga menuliskannya. “Bunyi informasinya detil. Termasuk tentang harus membawa suluh itu. Lalu soal sanksinya juga jelas. Sudah pasti ini memudahkan masyarakat untuk memahami,” ujarnya.

Kondisi yang berkebalikan dengan produk hukum terbitan hari ini. Yang dalam kaca mata Aswandi, bukan sekadar tidak rinci, tidak detil, tidak konkret, tapi juga multitafsir. Sehingga acap kali merugikan pihak yang menerbitkan aturan itu sendiri. “Karena memberi celah pada orang-orang untuk bermain hukum. Saya kira, Perhimpunan Pelakat mengajarkan ide dan gagasan penting tentang tata-cara menyusun sebuah produk hukum yang baik,” pungkasnya.***

Fatih Muftih, Redaktur Tanjungpinang Pos Minggu, Alumni PBSI FKIP UMRAH

Sumber : https://jantungmelayu.com/2017/08/pelajaran-penting-tentang-menulis-produk-hukum/

Artikulli paraprakPenegumuan Seleksi PPN-PNS Bawaslu Kota Tanjungpinang Tahun 2019
Artikulli tjetërRangkaian Kegiatan dalam Upaya Re-akreditasi Prodi Ilmu Hukum UMRAH

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini